MANAJEMEN IDENTITAS DALAM DUNIA MAYA
MANAJEMEN IDENTITAS DALAM DUNIA MAYA
Oleh
:
Anggota
Kelompok :
Agatha Radhyana Mayangsek (10517254)
Anastasia Suci Sekar Arum (10517667)
Karina France (13517136)
Ni Putu Indah Utari (14517480)
Kelas
: 2PA16
I. VIRTUAL
IDENTITY
Teknologi komunikasi di era digital
sekarang memungkinkan manusia berinteraksi tanpa harus bertatap muka, menyapa
tanpa berkata langsung, dan melihat tanpa harus datang ke tempat kejadian.
kecanggihan teknologi komunikasi mengakibatkan pergeseran elemen-elemen yang
ada dalam masyarakat penggunanya, elemen tersebut bisa berupa berbagi hal, dari
ranah sosial hingga budaya. pergeseran budaya dari konvensional menjadi
digital, budaya digital inilah yang populer dengan nama cyberculture.
Cyberculture
merupakan olahan kreasi dari manusia itu sendiri, mereka membuat berbagai macam
tanda sebagai eksistensi dirinya dalam ruang lingkup cyber, baik individu maupun golongan. Cyberculture yang terdapat dalam dunia cyberspace, yang mana cyberspace
merupakan produk dari komputer dan internet telah mendorong orang mulai
mempertimbangkan alternatif realitas-realitas lain di luar realitas kehidupan
sehari-hari. Tanda-tanda tersebut telah ada selama ini, yang kemudian dikenal
sebagai virtual identity.
Virtual
identity dalam beberapa pembahasan memiliki beberapa fungsi dan manfaat,
dalam pandangan lain virtual identity dianggap membawa bencana lain bagi
budaya, racun bagi kalangan tertentu, candu yang memabukkan dan perusak
hubungan tertentu. kekhawatirannya sudah dirasa meresahkan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa saat ini kita berada dalam konteks digitalisasi, dimana
antarindividu terhubung melalui jaringan internet menciptakan dunia baru: dunia
virtual. Sama halnya dalam kehidupan nyata, tiap individu memiliki identitas
yang ingin ditampilkan dan mempengaruhi bagaimana interaksi dengan individu
lainnya dalam dunia virtual. Identitas virtual (virtual identity)
menjadi pembeda tiap individu dalam kehidupan virtual. Dalam berbagai konteks,
identitas virtual ini menjadi alter ego seseorang dalam kehidupan nyatanya.
Tidak lah heran jika kemudian apa yang ditampilan pada dunia maya menjadi
identitas palsu seseorang.
Hal ini dikarenakan banyak orang yang
merasa tidak puas dengan keadaan diri mereka di dunia nyata, sehingga mereka
cenderung melarikan diri ke dunia maya dan membuat tempat tinggal yang mereka
harapkan untuk memenuhi kebutuhan psikologi mereka akan eksistensi diri.
Melalui karakter yang mereka buat dalam media-media yang ditawarkan seperti
media sosial facebook, twitter, blog, email, bahkan game online. Mereka
mengekspresikan diri mereka menjadi diri yang mereka kehendaki.
Kebutuhan manusia akan eksistensi diri
merupakan kebutuhan yang mendasar setelah kebutuhan primer. Kebutuhan agar
merasa dianggap oleh orang lain, yang akan memberikan nilai pada diri mereka.
Melalui identitas maya mereka bisa menemukan cara agar lebih diakui oleh orang
lain. Hal-hal yang tidak bisa dilakukan di dunia nyata, bisa mereka lakukan di
dunia maya tanpa harus takut akan ketahuan siapa mereka sebenarnya. Dunia maya
menawarkan anonimitas identitas sehingga orang-orang lebih bebas berekspresi.
Selain anonimitas, dunia maya juga menawarkan multiple identity yaitu
kemungkinan bagi seseorang untuk memiliki lebih dari satu identitas di dunia
maya.
Anonimitas
dalam sosial media menjadi interaksi yang cenderung negatif. Semua orang bisa
bersembunyi dibalik nama, foto dan biografi hebat seseorang. Namun
ujung-ujungnya, banyak yang tertipu akan satu akun. Dalam hal ini, akun anonim
dibuat untuk aktifitas yang tidak baik. Tetapi banyak pula akun anonim yang
berdasar niat baik berbagi. Identitas menjadi penting bagi beberapa platform sosial
media. Kita bisa lihat, di Twitter banyak akun artis, politisi, atau public
figure yang terverfikasi dengan centang biru. Kabarnya, kita butuh
nomor telpon yang paten, dan beberapa puluh (ratus) mention agar akun kita
menjadi verified. Begitupun juga dengan Facebook yang menyematkan badge biru
serupa Twitter. Instagram, Pinterest, Google+ pun kini menerapkan sistem
verifikasi akun.
Identitas seseorang di dunia maya
biasanya dibuat berdasarkan penilaian terhadap diri mereka di dunia nyata.
Dengan demikian, mereka bisa mengembangkan diri mereka dengan sebaik-baiknya
saat mereka beraktivitas di dunia maya. Memenuhi kebutuhan mereka akan
pengakuan dari orang lain dan pengakuan dari diri sendiri. Pengakuan ini akan
memberikan kepuasan secara psikis bagi orang tersebut. Hal tersebut akan
membuat mereka lebih percaya pada diri mereka sendiri.
Dalam perkembangan individu untuk
membentuk konsep dan persepsi diri terhadap diri sendiri dan orang lain, mereka
membutuhkan nilai-nilai yang akan menjadi pedoman dalam melakukan interaksi.
Ketika nilai yang mereka percaya sesuai dengan konsep diri yang mereka bangun,
maka mereka akan lebih bisa dalam mengembangkan karakter diri yang lebih baik.
Daripada ketika nilai tersebut, tidak sesuai dengan konsep diri yang mereka
miliki. Ketika hal tersebut terjadi, mereka akan cenderung untuk menghindari
interaksi dengan orang lain. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap nilai diri
mereka, dan mereka tidak merasa puas sehingga mereka beralih ke dunia maya
untuk menutupi kekurangan tersebut.
II. PEMBAHASAN
Menurut Stella Ting
Toomey, Identitas merupakan
refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya,
etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi
dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara
itu, Gardiner W.
Harry dan Kosmitzki
Corinne melihat
identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda
dalam perilaku, keyakinan dan sikap. “A virtual identity
is a persona that is implied when communicating online” (Jacob van
Kokswijk, 2006). von Kokswijk menambahkan bahwa identitas virtual atau
identitas online merupakan tampilan diri seseorang dalam dunia maya (online),
yang mana ia bebas menentukan ingin menjadi apa dalam dunia maya tersebut,
sehingga level of trurth identitas tersebut sangat kecil dan
mampu berubah-ubah sesuai dengan keinginan individu tersebut. Orang bisa saja
menjadi lebih pintar, lebih seksi, lebih kasar dan bahkan lebih gila dalam
dunia virtual.
berikut identitas pengertian dari beberapa jenis
identitas diri:
1.
Identitas seksual
Identitas seksual mengacu pada identifikasi
seseorang dengan berbagai kategori seksualitas. Bisa berupa heteroseksual, gay,
lesbian dan biseksual. Identitas seksual yang kita miliki akan mempengaruhi apa
yang kita konsumsi. Program televisi apa yang akan kita lihat atau majalah apa
yang akan kita baca. Identitas seksual juga dapat mempengaruhi pekerjaan
seseorang.
2.
Identitas gender
Identitas gender merupakan pandangan
mengenai maskulinitas dan feminitas dan apa arti menjadi seorang laki-laki atau
perempuan. Arti menjadi seorang perempuan atau laki-laki sangat dipengaruhi
oleh pandangan budaya. Misalnya saja kegiatan yang dianggap lebih maskulin atau
lebih feminim. Ungkapan gender tidak hanya mengkomunikasikan siapa kita, tetapi
juga mengkonstruksi rasa yang kita inginkan. Identitas gender juga ditunjukkan
oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi perempuan sering digambarkan sebagai
suportif, egaliter, personal dan disclosive, sedangkan gaya
komunikasi laki-laki digambarkan sebagai kompetitif dan tegas.
3.
Identitas pribadi
Identitas pribadi merupakan karakteristik
unik yang membedakannya dengan orang lain. Setiap orang mempunyai identitas
pribadinya masing-masing sehingga tidak akan sama dengan identitas orang lain.
Pengaruh budaya juga turut mempengaruhi identitas pribadi seseorang. Orang yang
berasal dari budaya individualistis seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat
berusaha untuk menunjukkan perbedaan dirinya dengan orang lain. Sementara itu,
orang yang berasal dari budaya kolektif cenderung menonjolkan keanggotaan
mereka kepada orang lain. Identitas pribadi juga bisa diartikan sebagai aturan
moral pribadi atau prinsip moral yang digunakan seseorang sebagai kerangka
normatif dan panduan dalam bertindak.
4.
Identitas agama
Identitas agama merupakan dimensi yang
penting dalam identitas seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian
secara sosial dan budaya, bukan hasil dari pilihan individu. Hanya pada era
moderm, identitas agama menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang
diperoleh saat lahir. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang
dilakukan oleh pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan
busana yang dipakai.
5.
Identitas nasional
Identitas nasional merujuk pada kebangsaan
seseorang. Mayoritas dari masyarakat mengasosiasikan identitas nasional mereka
dengan negara di mana mereka dilahirkan. Akan tetapi, identitas nasional dapat
juga diperoleh melalui imigrasi dan naturalisasi. Identitas nasional biasanya
menjadi sering diucapkan saat seseorang berada di negara lain. Orang yang
identitas nasionalnya berbeda dari tempat ia dilahirkan pada akhirnya akan
mulai mengadopsi aspek identitas nasional yang baru. Namun, hal ini tergantung
pada keterikatan pada negara yang baru tersebut. Sementara itu, orang yang
secara permanen tinggal di negara lain mungkin akan mempertahankan identitas
negara tempat ia lahir.
Dengan munculya cyberspace,
maka bertambah pula space atau dunia baru yang bisa untuk dimasuki. Untuk masuk
ke dunia tersebut, para user atau pengguna cyberspace,
membuat identitas diri mereka sendiri, yang belum tentu sesuai dengan identitas
mereka ada dunia nyata. Hal inilah yang nanti akan menyebabkan munculnya virtual
identity (identitas virtual), dan dewasa ini sudah banyak digunakan
oleh para pengguna internet.
Sebelum menyantap apa itu virtual identity, terlebih dahulu kita
harus menyadari akan realitas virtual (virtual reality) karena virtual
identity merupakan bagian dari realitas virtual itu sendiri. realitas virtual
adalah sebuah teknologi yang mampu mengemulasi dan menciptakan pelbagai
realitas. dalam kalimat lain teknologi realitas visual adalah upaya untuk
menerjemahkan mimpi menjadi keboleh jadian elektronis ( budiman, 2002 ).
Menurut budiman (2002) realitas
virtual lahir karena manusia merasa bahwa "realitas" saja tidak
cukup. dan yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah soal tumbuhnya rasa dan
bukan kenyataan aktual tentang itu.
Substansi gagasan tentang virtualitas
pada dasarnya adalah bagaimana spesies manusia akan dilibatkan, tanpa mengetahuinya
, dalam tugas pemprograman kode untuk pelenyapan dunia secara otomatis, karena
memang sudah tidak ada lagi dunia yang asli ( baudrillard, 1995; 102).
Menurut Yasraf Amir Piliang, realitas
virtual bukan merupakan sesuatu yang real, melainkan realitas lain, disebut
realitas karena sesuatu yang bersifat materi dan objektif, yang hanya dikenali
dan dipahami lewat mekanisme intuisi dan indra, membawa kita pada
pandangan materialisme mengenai realitas. munculya sebuah
realitas lain merupakan bentuk dari realitas yang sudah ada, dan merupakan
sebuah pengembangan.
Oleh sebab itu dengan semakin
berkembangnya realitas virtual, dengan itu pula terciptalah cyberspace.
Di dalam cyberspace tersebut terdapat ruang-ruang, yang
diantaranya adalah cyberculture (budaya digital) dan cybersociety
(ruang sosial digital).
Sekarang ini, ruang sosial yang ada di
dunia nyata, kini dapat dicarikan substansinyaa di dalam dunia digital ( cyberspace).
menurut (amir piliang, 2004) cyberspace juga telah mempengaruhi kehidupan
sosial di luar ruang, setidaknya ada tiga tingkat pengaruhnya, yaitu :
1.
Pada tingkat individual
Cyberspace
telah menciptakan perubahan yang mendasar tentang identitas. sistem komunikasi
di jembatani oleh komputer, dan hal tersebut telah melenyapkan batas-batas identitas
itu sendiri di dalamnya. dalam arti lain menjadi orang yang berbeda-beda
identitasnya di waktu yang bersamaan. menjadikan semacam kekacauan identitas,
yang akan memperngaruhi persepsi, pikiran, personalitas dan gaya hidup. bila
semua orang bisa memakai identitas apapun, maka tidak ada lagi yang namanya
identitas itu sendiri.
2.
Pada tingkat antar individu/kelompok
Perkembangan komunitas virtual didalam cyberspace telah menciptakn
relasi-relasi sosial yag bersifat virtual di ruang-ruang virtual (virtual shopping, virtual
game, virtual conference, virtual sex, dan virtual mosque). relasi-relasi sosial virtual tersebut telah
menggiring ke arah semacam deteritorialisasi sosial (social deterritorialization), dalam pengertian, bahwa beragai
interaksi sosial masa kini tidak memerlukan lagi ruang dan teritorial yang
nyata (dalam pengertian konvensional), melainkan halusinasi teritorial. didalam
halusinasi teritorial tersebut, orang boleh jadi lebih dekat secara sosial
dengan yang jauh secara teritorial, ketimbang seseorang yang dekat secara
teritorial, akan tetapi jauh secara sosial.
3.
Pada tingkat masyarakat
Cyberspace
diasumsikan dapat menciptakan satu model komunitas demokratik dan terbuka yang
disebut rheingold komunitas (imaginary
community). didalam komunitas konvensional, anggota masyarakat memiliki
kebersamaan sosial (social sharing)
dan solidaritas sosial (social solidarity)
menyangkut sebuah tempat (desa, kampung, atau kota) yang didalamnya berlangsung
interaksi sosial face to face.
didalam komunitas virtual diperlukan imajinasi kolektif tentang tempat (place) tersebut, yang tidak ada didalam
sebuah ruang nyata (real space),
melainkan sebuah tempat imajiner (imaginary
place) yang berada didalam ruang bit-bit komputer.
Kekhawatiran lainnya dari virtual identity bagi individual yang
menyalah gunakan fasilitas dunia cyber
mengakibatkan mereka terlalu bebas dengan identitasnya. Sampai dimana
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut, mungking hanya berani unjuk
gigi dan berkomentar didunia cyber,
khususnya media sosial. mereka hanya akan berani berkata-kata tanpa harus
bertatap muka secara langsung, dengan objek atau individu yang menjadi
sasarannya.
Demografi pengguna atau user sosmed dibagi
menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama yaitu :
a) primary
participators.
Kelompok ini adalah pembuat konten dan informasi yang ada di dunia maya dan
sosmed.
b) secondary
participators yang biasanya mengkonsumsi informasi. Mereka juga
tidak langsung berkontribusi informatif dengan men-tag, ranking, like, tweet,
dll.
c) lurkers, Kelompok ini hanya mengkonsumsi informasi. Lurkers ini
jumlahnya melebihi dua kelompok lain.
Untuk primary dan secondary
participators, mereka adalah generasi Y dan Z di abad 21 ini. Kedua
generasi adalah mereka yang melek dunia teknologi digital. Mereka besar dan dibesarkan dengan
teknologi sejak dini. Sedang untuk lurkers, generasi ini lebih
kepada generasi V, W dan beberapa X. Mereka ini adalah 'immigrant' dalam
dunia teknologi.
III. Self Constructed Digital Identity
Dari
demografi ini, akan terlihat benang merah identitas kita di sosmed. Jauh
sebelum ada sosmed dengan akun anonim, prinsip identitas dramaturgis ditelaah
oleh Goffman. Pada dasarnya kita ingin mencitrakan diri saat berkomunikasi.
Komunikasi menjadi serupa drama. Disini ada aktor dan penonton yang terlibat.
Sehingga, ada beberapa phase drama penciptaan identitas diri yang ingin
diciptakan:
a) Pertama, front stage identity. Dimana
pelaku komunikasi (aktor) memilah dan memilih kostum, aksen, gaya bicara,
gestur, dll dalam interaksi. Identitas yang muncul adalah keinginan dan harapan
dari citra yang ditimbulkan.
b) Kedua, back stage identity. Dimana pelaku
sejatinya juga memiliki identitas 'rahasia'. Terlepas pencitraan yang dibuat
dan ditampilkan. Ada sisi dalam diri si aktor dimana penonton tidak perlu
mengetahui.
Kedua
fase ini menjadi gambaran apa yang terjadi dari akun sosmed yang kita buat.
Sosmed bisa menjadi representasi dari diri kita. Ataupun, sosmed menjadi
ektension dari diri kita yang lain. Dalam hal ini, representasi diri menjadi
diri sendiri baik di dunia nyata dan maya. Namun menjadi diri lain (ekstension)
pun bisa dilakukan di sosmed. Ada front stage identity yang
ingin kita tunjukkan. Namun di satu sisi, dan pada saat bersamaan ada ruang
untuk back stage identity.
Memahami
identitas di sosmed pun menjadi langkah penting memahami literasi digital.
Sebuah wacana yang saat ini mungkin sangat dibutuhkan. Alih-alih memahami
determinasi teknologi semata, ada literasi kritis yang juga dikandung
teknologi. Determinasi teknologi adalah sisi fungsional dari teknologi. Sedang
sisi literasi kritis lebih menyorot ranah dunia teknologi memiliki kultur,
kekuasaan dan kepopuleran tersendiri.
Singkatnya, kita
dapat meringkas Manajemen Identitas Digital dalam 5 tingkatan yang berbeda:
1. Manajemen
Data
Manajemen Data menentukan cara menyimpan, mengamankan, mengubah, mengambil, dan
mengarsipkan data tentang seseorang. Ini juga perlu menentukan cara menghapus
informasi pribadi yang dapat diidentifikasi.
2.
Otentikasi
Pengguna
memberikan bukti bahwa mereka adalah siapa yang mereka klaim. Contohnya adalah
login melalui kata sandi, otentikasi perangkat atau 2-faktor, atau otentikasi
pengguna biometrik melalui sidik jari atau pengenalan wajah.
3. Verifikasi
Langkah
verifikasi memeriksa apakah otentikasi dan bukti identitas yang diberikan
valid, dan informasi yang diberikan benar dan sejalan dengan data yang disimpan
sebelumnya.
4.
Akses
Akses mengacu
pada hak pengguna untuk mengakses akun mereka, dan hak pengguna atau pihak
ketiga untuk mengakses informasi pribadi yang dapat diidentifikasi.
5.
Antarmuka
Pengguna
dapat berinteraksi dengan layanan dan akan melihat informasi yang relevan
dengan dan ditargetkan pada profil penggunanya.
Elemen yang membentuk identitas digital :
Konstruksi identitas digital
dikondisikan oleh banyak elemen, di antaranya menonjol:
1) Profil
pribadi : Baik di jejaring
sosial seperti: Facebook atau Instagram, media sosial profesional seperti
LinkedIn, pencarian pekerjaan portal atau layanan online lainnya;
2) Komentar yang dibuat di forum, blog, jejaring sosial, dll ;
3) Konten yang diunggah ke jaringan, baik: foto, video, presentasi, pos, dan lain-lain. Jaringan kontak dalam dunia digital: teman,
kolega, pengikut, dan orang-orang yang kita ikuti;
4) Alamat email , penggunaan yang berikan, dan seberapa terlihatnya;
5) Layanan Pesan instan yang gunakan: Whatsapp,
Telegram, Facebook, Messenger, Line;
6) Nick
atau alias yang digunakan;
7) Avatar
yang dipilih untuk profil.
IV. Tantangan Manajemen Identitas Digital
o Kepercayaan dan Keamanan
Orang
cenderung tidak percaya pada organisasi atau pemerintah untuk melindungi
informasi pribadi mereka. Di sisi lain, anonimitas kehadiran online membuatnya
juga sangat sulit bagi penyedia layanan untuk mengidentifikasi pengguna dengan
benar, yang dapat menjadi faktor risiko yang besar. Oleh karena itu penyedia
perlu mengandalkan proses otentikasi yang biasanya rumit dan memakan waktu bagi
pengguna, dan mahal untuk organisasi.
o
Persetujuan
dan Kontrol
Selain dari
pelanggaran data, pengguna juga semakin khawatir tentang penggunaan data
pribadi mereka.
o
Kepemilikan
Serupa dengan
kepercayaan dan persetujuan, kepemilikan adalah masalah utama bagi Manajemen
Identitas Digital. Siapa yang memiliki data pribadi? Siapa yang memiliki
informasi pribadi yang dapat diidentifikasi, dan siapa yang dapat mengambil
manfaat darinya? Saat ini, banyak perusahaan internet seperti Google dan
Facebook mendasarkan model bisnis mereka pada iklan.
o
Pengalaman
Pelanggan
Berlawanan
dengan identitas fisik, volume pengidentifikasi digital meningkat. Setiap
pengguna harus mengelola banyak akun, login, dan lingkungan yang semuanya
menyimpan beberapa informasi pribadi. Sebuah survei baru-baru ini menemukan
bahwa 61% responden menggunakan kata sandi mereka di beberapa situs. Ini
membutuhkan pengalaman pelanggan yang lebih baik dan solusi integrasi saluran.
o
Biaya
dan kekokohan infrastruktur
Sistem saat
ini tidak cukup kuat untuk melindungi data dari dicuri oleh pihak ketiga.
Selain sebagai risiko keamanan, penyimpanan pusat dari sejumlah besar informasi
pribadi yang dapat diidentifikasi juga membawa harga besar biaya infrastruktur.
o
Organisasi
dan pemerintah bertindak
Baik
pemerintah dan organisasi bekerja keras untuk menemukan solusi untuk masalah
ini. Kolaborasi multi-pemangku kepentingan tentang Digital Identity telah
diluncurkan pada Januari 2018. Dalam konteks ini, Kristalina Georgieva, Kepala
Eksekutif Bank Dunia, mengumumkan untuk mengamankan lebih dari $ 750 juta
investasi dalam proyek-proyek terkait ID dalam tiga tahun ke depan. OECD
baru-baru ini menyatakan identitas dan inklusivitas sebagai tren teratas dalam
inovasi pemerintah.
Akibatnya,
tidak mengherankan bahwa baik pemerintah dan organisasi mempertimbangkan, atau
harus mempertimbangkan, Blockchain dan Teknologi Ledger Terdistribusi dalam
pencarian mereka untuk solusi Digital Identity.
V. Pencurian identitas digital dan cara
menghadapinya
Dalam beberapa tahun terakhir telah
terjadi peningkatan dalam kasus pencurian identitas atau pencurian identitas
digital. Kejahatan ini melibatkan penyamaran seseorang dan mengasumsikan identitasnya
untuk kenalan mereka.
Motivasinya biasanya
ekonomi (mengakses rincian bank Anda), atau bisa juga sosial (menyamar sebagai
seseorang untuk mencemarkan nama baik atau untuk membalas dendam).
Modus operandi yang paling umum adalah
melalui email palsu dan teknik phishing.
Jika penjahat mempublikasikan data pribadi korban di internet, hal pertama
adalah pergi ke situs web untuk meminta penarikannya. Jika identitas Anda telah
digunakan untuk melakukan kejahatan, Anda harus melaporkannya kepada Polisi. Bergantung
pada konsekuensinya, tindakan hukum dan / atau hukum dapat diambil, akan lebih
mudah untuk menempatkan diri Anda di tangan pengacara yang ahli dalam kejahatan
teknologi.
Kiat untuk melindungi
identitas digital Anda:
1) Tinjau izin dan kebijakan privasi yang telah Anda
konfigurasikan dalam layanan internet tempat Anda berlangganan. Saat ini semua
memungkinkan Anda untuk mengontrol apa yang ingin Anda terbitkan tentang Anda.
Pantau nama Anda secara teratur di Google untuk mengetahui apa yang diketahui
tentang Anda. Buat profil secara bertanggung jawab: analisis layanan online
secara terperinci, bagaimana melindungi data pribadi pengguna;
2) Cobalah mendefinisikan citra pribadi dan professional;
3) Izinkan akses hanya kepada orang yang Anda anggap
dapat dipercaya untuk mengontrolAnda jangkauan publikasi;
4) Keluar dari profil Anda di akhir, untuk mencegah akses
tidak sah;
5) Berhati-hatilah saat menerbitkan informasi atau
pendapat tentang pihak ketiga;
6) Ikuti langkah-langkah keamanan siber dasar seperti:
membuat kata sandi aman dan melindunginya dengan benar, hindari menggunakan
data pribadi di jaringan Wi-Fi publik atau menggunakan email secara bertanggung
jawab.
DAFTAR PUSTAKA
·
https://www.kompasiana.com/girilu/583d6d992cb0bd96066c544d/memahami-identitas-diri-di-sosial-media
Komentar
Posting Komentar